……”Sirep malu pang semeng-semeng mani bangun, pang maan nudukin matin-matin wayang.”… begitulah kalimat yang sering kami dengar dikala sedang berlangsungnya pementasan wayang kulit tengah malam tersebut. Dan karuan aja pagi-pagi keesokan harinya kami bergegas segera menuju ke bawah panggung tersebut dan mencari-cari sisa-sisa wayang yang dalam pementasan malam harinya statusnya jadi korban dan mati dalam peperangan. He..he..he..tentu saja apa yang dibilang orang tua pada malam hari tersebut hanyalah sebuah “ajakan halus” agar anak-anaknya tidak larut begadang pada malam tersebut.
Ya itulah salah satu kenangan masa kecil akan wayang kulit ini. Dulu hampir pada setiap ada upacara Pitra Yadnya (ngaben) upacara Manusa Yadnya seperti otonan dan potong gigi, sering disertai pementasan wayang kulit ini.. Dan dalam setiap pementasan wayang ini paling tidak ada dua segment penikmatnya, pertama ada yang amat serius menikmati alur cerita mulai dari awal sampai akhir pementasan ( dan mereka begitu hikmad menyimak cerita yang disuguhkan, kadang bisa begitu senang gembira kalau tokohnya menang dalam peperangan atau sebaliknya mereka akan keki setengah mati kalau itu tidak memuaskannya, karena saking serius dan fanatiknya terhadap satu figure tokoh pewayangan tsb). Dan kedua ada penikmat yang khusus menyimak dialog2 humor , joke,atau lawakannya saja ( yang dalam hal ini biasanya diperankan oleh tokoh sangut dan delem). Dan yang menarik biasanya celotehan dan dialog humor tersebut merupakan cerita yang terjadi dilingkungan tempat pementasan wayang tersebut, yang biasanya digali sendiri oleh sang dalang atau ada pesan titipan oleh beberapa nara sumber.
Haa..ha..ha…komedi situasi yang diceritakan biasanya sindiran seseorang yang dalam kegiatan upacara tsb paling sering mencari muka, pura-pura paling sibuk dan “meragatan gae” atau mungkin masalah perselingkuhan yang terjadi dilingkungan tsb. Dengan lawakan yang sarat kisah cerita sekeliling tsb, tentulah akan membuat para penonton tertawa terpingkal-pingkal dengan celetukan “nyen to keno nyen” (siapa itu yg dimaksud..he..he..he.) dan tentunya bikin merah kuping bagi yg merasa diomongin dalam lawakan tsb.Dan biasanya penonton ini akan berlalu begitu lawakan dalam cerita wayang tersebut sudah habis, lain halnya dengan penonton pertama yang serius menyimak sampai akhir pementasan wayang tsb.
Dan diera arus globalisasi informasi sekarang ini alur cerita pewayangan semakin berkembang namun tetap pada pakem utamanya kisah seputaran cerita Ramayana dan Mahabrata . Disini para dalang dituntut sedikit memahami dan menguasai kondisi dan update berita terkini dilingkungan masyarakat sekitar maupun didalam negeri umumnya serta informasi global lainnya.
Dijembrana dulu ada beberapa dalang-dalang yang mumpuni salah satunya adalah dalang dari Mendoyo Dangin tukad yakni Nang Lenjong (alm.) yang pada perkembangan berikutnya diwarisi oleh anaknya ( dan entah bagaimana sekarang perkembanganya) . Untuk era sekarang saya kurang begitu tahu apakah masih banyak dalang-dalang yang eksis di Jembrana demikian juga dengan regenarasinya, seiring dengan semakin jarangnya saya mendengar adanya pementasan wayang seperti dulu kala itu.
Dan dikala maraknya dalang-dalang yang memainkan perannya dalam gonjang-ganjing kehidupan hukum dan politik negeri ini , bagaimana kabarmu kini wahai para dalang wayang kulit di Jembrana??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar